Sabtu, 07 Januari 2012

Santri Urban

Epestimologi Santri Urban
Oleh: Wahyu Iryana


Setidaknya untuk mengidentifikasi siapakah santri dibutuhkan pemetaan khusus atas generasi santri di Indonesia dari awal hingga sekarang. Istilah santri sebenarnya melekat kepada mereka yang pernah belajar di pesantren. Pernah belajar pada seorang kiai atau ajengan, dan pernah belajar kitab kuning yang menjadi ciri khas di sebuah pondok. Sedangkan yang dinamakan santri urban adalah orang yang dahulunya nyantri kemudian melakukan proses urbanisasi (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5). Setidaknya ada dua kelompok santri urban untuk generasi awal. Pertama di kalangan generasi pemurnian yang berbasis di perkotaan, mereka adalah Ahmad Dahlan, A. Hassan dan yang seangkatan. Kedua dari kalangan pesantren yang berbasis di pedesaan, generasi awal adalah Hasyim Asya’ri, Bisyri Syamsuri, Wahab Hasbulloh dan yang seangkatan. Setelah angkatan pertama generasi kedua dari kalangan santri pemurnian adalah Natsir, Isa Anshari, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusuma, dan yang seangkatan. Sedangkan untuk kalangan pesantren di pedesaan di gawangi oleh Wahid Hasyim dan yang seangkatan. Generasi ketiga di kalangan pemurnian diwakili oleh para tokoh seperti Amien Rais, Nurcholis Majid (Cak Nur), Ahmad Sumargono, Yusril, Dawam Raharjo dan yang seangkatan. Sedangkan di kalangan pesantren generasi ketiga diwakili oleh Gus Dur, Hasyim Muzadi, Masdar Farid Mas’udi dan yang seangkatan.
Setelah Gus Dur dan Cak Nur meninggal sekarang ini, posisi dan wacana keislaman sepenuhnya masih dipegang oleh generasi ketiga sebagai rujukan utama Amien Rais, Masdar F Masudi dan kalaupun bisa di tambahkan nama Said Aqil Siraj, Mahfud MD, Din Syamsudin, Surya Darma Ali, Azumardi Azra, Kumaruddin Hidayat, Ahmad Gaus AF, Ahmad Baso, Zuly Qadir, Anis Matta, Jadul Maula, Zuhairi Misrawi, Ulil Abshar bisa masuk ke dalam jajaran nama-nama sesudah angkatan ketiga.
Pertanyaannya sekarang apa peran santri urban untuk bangsa Indonesia? Ada berbagai peran penting yang yang telah diberikan untuk menggerakan wacana keislaman di tanah air, yang sarat dengan kepentingan, pertarungan, diskusi dan berhadapan dengan wacana-wacana yang lebih mendunia. Semakin lama, jumlah dan wacana yang dikemukakan semakin memiliki gaung yang besar. Setidaknya golongan penerus kader-kader muda yang mengikuti jejak angakatan sebelumnya telah berperan dalam kantong-kantong gerakan non formal, seperti LSM, kelompok-kelompok diskusi dan kelompok partikelir yang dengan sendirian pula bisa menembus ke media massa untuk menulis dan berwacana.
Pertumbuhan santri urban mengalami berkembang pesat sampai sekarang. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan pesantren di seluruh Indonesia. Alasan konkrit dari menjamurnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena salah satu great traditional yang dikembangkan di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren.
Salah satu pengajaran khas di pesantren adalah transformasi keilmuan kitam kuning yang membahas ilmu alat. Dalam penjabaran yang lebih luas ilmu alat ini mencakup tata bahasa Arab tradisional, seperti nahwu (sintakstis), sharaf (infleksi), balagah (retorika), di samping itu juga ada ilmu mantiq (logika) dan ilmu tajwid (ilmu untuk membaca al-Quran dengan baik dan benar).
Pengembaraan santri urban yang datang dari pesantren tradisonal ke kota bisa jadi karena wawasan dan skil yang dimiliki para santri tersebut kurang mendapat tempat dalam struktur organisasi di daerahnya karena kurangnya wadah yang pas untuk menampung alumnus santri yang mempunyai progres yang tinggi. Para santri kemudian saba kota untuk melakukan studi di Universitas-Universitas Islam seperti di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau Universitas Islam Negeri (UIN) bahkan ada juga dari mereka yang belajar ke luar negeri seperti ke Mesir, Irak, Yordania, dan Madinah. Setelah lulus mereka bergerak dalam pemberdayaan masyarakat, jurnalis, bahkan ada yang tetap menggeluti bidang akedemis sebagai staf pengajar, dan ada juga dari mereka yang bergerak dalam bidang politik sebagai wakil rakyat di parlemen.
Santi di era global
Globalisasi menurut Anthony Giddens dalam British Economist. The Third Way: The Renewal of Sosial Democracy adalah suatu kenyataan saat hubungan sosial mendunia, tidak ada lagi hambatan dan jarak antara berbagai realitas, satu kejadian yang terjadi secara lokal dengan kejadian lain yang terjadi di belahan dunia lainnya.
Perkembangan jaman mengharuskan santri urban untuk melakukan rekonstruksi dakwah yang ideal pada zamannya. Santri urban harus tahu dan mengenal subtansi dari peradaban global. Secara termenologi peradaban atau civilization sering diartikan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang mapan dan organisasi sosial yang dinamis. Dalam arti lain peradaban yang dimaksud adalah suatu kemajuan budaya dari suatu masyarakat pada daerah tertentu dengan ciri organisasi sosial politik yang mapan, pengetahuan, kemajuan di bidang seni, iptek, dan pertembuhan produk-produk material yang komplek.
Sebagai bagian dari masyarakat global santri urban memiliki tanggungjawab besar untuk merespon isu globalisasi. Karena motif dari kelahiran santri urban sendiri tidak terlepas dari perkembangan masyarakat global, yang multi etnik, politik, budaya dan multi agama. Urbanisasi masyarakat desa ke kota dengan alasan rasionalnya bahwa kota sebagai pusat kegiatan. Meminjam bahasa Rohadi Abdul Fatah tujuan dari urbanisasi adalah city, large center of population organized as a community walaupun pada akhirnya urbanisasi mengakibatkan problem baru yang berhubungan dengan tempat tinggal, pangan, fasilitas-fasilatas umum, bahkan kriminalitas yang semakin meningkat. Hal ini harus difahami dengan kenyataan bahwa masyarakat terdidik termasuk santri urban harus mempunyai solusi konkrit dalam mengawal kedaban di era globalisasi tersebut.
Pertanyaannya sekarang bagaimanakah santri urban mampu mengelaborasi dakwah dalam era global? Tentunya santri urban harus mampu masuk dalam dunia media, santri hendaknya tidak gaptek terhadap teknologi yang berkembang. Media dakwah santri bisa melalui Radio, Televisi, Media Cetak, maupun dakwah via internet. Banyaknya kontes-kontes dai disadari atau tidak apabila tidak mampu melakukan akses menyeluruh terhadap perkembangan zaman, ia akan dijadikan boneka intertaiment belaka. Pada dasarnya untuk melakukan dakwah tidak harus menjadi seorang kiai saja. Di manapun kita berada seorang santri entah ia sedang berada di pemerintahan, kampus, kantor, ataupun di gedung parlemen tanggungjawab moral untuk melakukan transformasi nilai-nilai ilahiyah yang positif sudah selayakanya dilakukan tentunya dengan diimbangi sikap pekerti santri. Dalam hal ini posisi santri urban adalah sebagai mediasi antara relasi agama dan negara. Paling tidak ada dua landasan argumentasi yang melegalkan hal tersebut. Pertama, argumentasi normatif teologis dan yang kedua argumentasi historis, keduanya pernah juga disampaikan oleh Gus Dur dalam sebuah seminar di Jakarta yang bertajuk Relasi Negara dan Agama.
Penulis berharap pesantren tidak lagi di cap sebagai sarang teroris dan semoga dari pesantrenlah akan muncul pangeran bersarung (santri) sebagai pemimpin nasional untuk mengentaskan problem-problem bangsa. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Penulis, Mengajar UIN Sunan Gunung Djati Bandung.